IHS is my campus and located at: Jln. Adi Sucipto Street 190 solo 57145 Phone: (0271) 730088, 730808. Fax: (0271) 730808, 731392. Email: ihssolo@indo.net.id Website: www.ihs-indonesia.info

Wednesday, January 13, 2010

Pro Kontra Pembangunan Solo Paragon

251083325145de67fd31.jpg


renderingsoloparagon1an0.jpg

Dalam kurun semester akhir di tahun 2008 ini, perkembangan pembangunan fisik kota Solo menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Di beberapa sudut kota ini terlihat upaya pemerintah untuk semakin mempercantik wajah kota. Pembangunan taman-taman, jalan, jembatan, perapian PKL, dan pembangunan fungsi komersial serentak dilaksanakan diberbagai titik kota. Namun, berbagai masalah turut menyertai beberapa proyek.
Pemerintah tentu mendapat sorotan lebih akan hal tersebut. Salah satunya adalah masalah yang muncul dalam proyek re-desain situs benteng Vastenburg menjadi hotel Boutique. Kasus pembangunan situs budaya menjadi commercial building ini memunculkan polemik di masyarakat. Sebagian besar masyarakat menolak keras rencana pembangunan tersebut, karena akan mengancam hilangnya salah satu situs budaya di kota Solo. Sedangkan pemerintah tidak punya wewenang untuk menghentikan proyek pembangunan itu. Ya, tanah dari benteng vastenburg memang telah jatuh ke tangan swasta, dan acc pembangunan hotel di kawasan benteng peninggalan Belanda itu adalah hak dari pemilik tanah. Yah, sangat memprihatinkan. Kesalahan pertama adalah dari pemerintah, yang melakukan blunder hingga sertifikat tanah kawasan wisata di daerah gladak, Solo, itu bisa jatuh ke tangan swasta. Setelah sekarang menjadi polemic, pemerintah tentunya tidak bisa berbuat apa-apa, sengaja tidak mengeluarkan IMB dianggap sesuatu yang mengada-ada. Akhirnya, pembangunan hotel Bouitique tinggal tunggu waktu saja.
Masyarakat pun demikian, terlalu reaktif akan polemik ini. Dan memang hal ini dapat dimaklumi, terlebih Solo baru saja menjadi tuan rumah festival kebudayaan dunia (World Heritage), yang diikuti walikota-walikota berbagai kota pusaka di seluruh dunia. Masyarakat menyayangkan mengapa solo yang menjadi salah satu sentra budaya di dunia mengalami polemic seperti ini, harus kehilangan beberapa situs budayanya. Tapi entah mengapa, sedikit terbesit di benak ana, untuk mendukung akan pembangunan hotel Boutique ini. Ana lebih melihat factor pertimbangan, keadaan benteng Vastenburg selama ini memang sangat memprihatinkan, tidak terawat, sangat kotor dan kumuh. Letak benteng yang berada di tengah kota menjadikannya sebagai sesuatu yang ‘mengganggu pemandangan’. Dan selama ini, tak ada peran masyarakat untuk merawatnya. Masyarakat seakan acuh tak acuh akan keadaan benteng tersebut. Baru sekarang ketika benteng ini menjadi polemik, masyarakat begitu bersuara lantang untuk menolak pembangunan hotel di benteng ini. Inilah bukti ketidakdewasaan masyarakat dalam menghadapi permasalahan-permasalahan kota seperti ini.
Lepas dari pembahasan benteng Vastenburg, kita beralih ke wilayah Kota Barat, Solo, untuk menyoroti megaproyek yang saat ini sedang berlangsung, yaitu Solo Paragon. Solo Paragon inilah yang nantinya akan menjadi pusat hunian pertama di kota Solo yang berupa apartemen/residence berlantai banyak dan dilengkapi fasilitas-fasilitas pendukung yang serba wah. Pertama di kota Solo? Yup, memang agak aneh bahwa di kota sebesar Solo, yang luas wilayah dan jumlah penduduknya tidak beda jauh dengan Surabaya, Semarang, dan Jogja, belum memiliki apartemen/residence berkelas. Nah, setelah ana pelajari, ternyata selama ini Solo begitu protect akan investor asing/swasta yang ingin membangun apartemen berkelas di kota ini. Dikhawatirkan, dengan dibangunnya apartemen/residence berkelas macam Solo Paragon, akan mengarahkan perkembangan budaya dan pola hidup warga Solo ke arah yang tidak diinginkan. Benar, kota Solo adalah kota budaya, dengan masyarakatnya yang ramah dan terbuka, kota ini bukanlah kota milik kaum borjuis, juga kota ini tidaklah mirip Bandung yang warganya stylish. Dan dibangunnya apartemen/residence mewah di kota ini tentu dikhawatirkan akan mengubah ciri khas Solo itu sendiri.
Begitu protect-nya Solo untuk mengantisipasi masuknya apartment mewah patut diacungi jempol. Bahkan di acc nya proyek Solo Paragon ini kabarnya membutuhkan usaha keras dari pihak investor karena harus melewati berbagai rentetan tahapan yang panjang, yang disyaratkan oleh pihak pemerintah Solo. Namun daripada itu, keberhasilan dibangunnya Solo Paragon ini dikhawatirkan memberi inspirasi/celah peluang kepada investor lain yang ingin membangun apartment mewah di Solo ini. Maka dari itu, lolosnya Solo Paragon ini adalah tantangan bagi Solo, yang kedepannya akan semakin sulit mempertahankan jatidirinya.
Solo harus Istiqomah, berjuang mempertahankan tradisi dan jatidiri, lihatlah Sragen, kota yang istiqomah mempertahankan jatidirinya. Pemerintah Sragen menolak setiap rencana dibangunnya mall, sampai sekarang pun Sragen tidak mempunyai mall, pemerintah menghimbau untuk optimalisasi pemanfaatan pasar tradisional yang akan lebih menguntungkan warganya.
Masalah Benteng Vastenburg dan Solo Paragon adalah bukti semakin sulitnya Solo menjaga eksistensi jatidirinya, apalagi terkadang kecerobohan pemerintah dan kekurang dewasaan warganya ikut menjadi factor yang ikut menggerogoti jatidiri kota Solo itu sendiri.
Terakhir, ana ucapkan selamat dalam upaya pemerintah mempercantik wajah kota ini, antara lain diresmikannya taman Kalianyar, City Walk Jl. Slamet Riyadi, dan dibangunnya Jembatan dan Taman Sekartaji, Solo Center Point, Solo Paragon, Relokasi PKL di Jurug, Relokasi PKL di UNS, serta renovasi stadion Manahan. Semoga upaya itu terus dilanjutkan di titik-titik yang lain di kota Solo ini.

Pembangunan berbagai gedung tinggi dan modern di kota Solo menyisakan polemik bagi beberapa golongan yang mengaku tidak setuju karena ada beberapa hal yang telah dilanggar dalam pembangunan tempat-tempat tersebut. Masyarakat pun mengajukan beberapa keberatan hingga usulan untuk menghentikan proyek yang berjalan. Namun, pemerintah kota tetap keukeuh melanjutkan proyek yang telah berjalan.


“Kami pernah melempari pembangunan Solo Paragon waktu pertama kali proyek itu berlangsung. Kami tidak setuju dengan pembangunan gedung yang terlalu tinggi itu”, ujar Nur Muhamad Fadhillah, warga RT 2/RW II, Mangkubumen. Dia adalah salah satu warga yang tinggal di daerah yang berdekatan dengan lokasi Solo Paragon didirikan. Tepat di samping bawah bangunan. Diakui warga sekitar bahwa pembangunan Solo Paragon banyak menuai masalah di belakangan hari.
Suasana pembangunan yang ramai jelas mengganggu kegiatan sehari-hari warga yang ada di sekitar lokasi proyek. Sampah dan debu adalah masalah yang tidak dapat dihindari. “Nah, itu Mbak. Seperti sampah yang sedang beterbangan itu jadi masalah buat kami”, ucap seorang bapak tua sambil menunjuk sampah yang beterbangan dari gedung yang direncanakan berlantai 24 itu. Permasalahan yang lain adalah sinyal antena TV yang terganggu karena gedung yang ada di samping rumah mereka memiliki ketingian yang jauh melebihi ketinggian rumah mereka. “Dulu, sebelum ada pembangunan Paragon sinyal antena TV kami baik-baik saja, jadi buruk setelah ada gedung tinggi itu”, ungkap warga kesal.
Pembangunan Solo Paragon menuai konflik sejak pertama kali mulai dilaksanakan. Setelah pernah berhenti sejak pertama kali pembangunannya, proses pembangunannya mulai dilaksanakan kembali sekitar Februari 2008 lalu. Warga yang pada awalnya sulit diajak kerja sama pun belakangan mulai mundur teratur dengan menerima proses pembangunan gedung tersebut. “Warga dulu sangat teguh menolak pembangunannya, tapi ya karena warga cuma rakyat kecil. Kami butuh uang untuk beli susu anak-anak kami, Mbak. Sempat saya dengar isu juga ada 200 ribu rupiah per kepala keluarga dulu”, jelas Nur. “Tapi saya ya ndak tahu pasti karena saya juga tidak menerimanya. Mungkin juga itu cuma isu”, tambahnya. Selanjutnya, ia juga menyampaikan bahwa ada tawaran untuk bekerja di sana (Solo Paragon, red) bagi beberapa warga. “Yang seperti itu kan biar kami ga teriak-teriak lagi, Mbak. Jadi, ya begitu cara membungkam kami”.

DKS Angkat Suara
Pemerintah Kota Solo yang dirasa sangat mudah memberikan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk bangunan tinggi dan modern di kota Solo pun mendapat tanggapan dari aktivis Dewan Kesenian Surakarta (DKS) dan Forum Penegak Keadilan dan Kebenaran (FPKK). Menurut mereka, pembangunan gedung-gedung tinggi tersebut akan mempertebal rasa kekalahan orang Jawa. “Orang Jawa menggunakan Keraton Kasunan sebagai panutan. Sekarang malah sudah tertutup dengan adanya gedung-gedung tinggi tersebut. Gedung tinggi lain yang sedang berada dalam proses pembangunan adalah Solo Center Point dan Kusuma Mulia Tower.
”Bangunan itu tingginya lebih dari 20 lantai, padahal di Solo masih ada Keraton dan juga Mangkunegaran. Jika dilihat dari estetika ini bisa tidak tepat,” ungkap Ketua FPKK Ismu Wardoyo dalam sebuah sidang gugatan kepada Joko Widodo, Walikota Solo. Isi gugatan tersebut adalah bahwa FPKK meminta walikota mengkaji ulang IMB tiga apartemen tersebut untuk izin peruntukannya dan ketinggian bangunan. Kuasa hukum FPKK Bambang J Guntoro SH menegaskan, salah satu gugatan adalah soal ketinggian dan izin peruntukan tiga apartemen tersebut.
Dalam kasus tersebut FPKK juga menggugat Walikota senilai Rp 50 miliar. Dana tersebut akan digunakan untuk pemugaran situs cagar budaya di Solo. Mengenai penggugatan tersebut salah satu budayawan Solo, Sabar Narimo menyatakan, “Menurut saya, kalau masalah bisa diselesaikan dengan dialog dan bicara baik-baik tidak perlu ada hal-hal seperti penggugatan itu. Saya pikir, Joko Widodo seharusnya membicarakan perihal pembangunan gedung-gedung tersebut kepada elemen masyarakat termasuk budayawan di dalamnya. Ini supaya tidak ada kesalahpahaman dan pertanyaan hingga menelurkan aksi gugat-menggugat”.
Selama ini, peraturan tentang tinggi gedung di daerah kota Solo memang belum diatur dalam suatu peraturan tertentu. “Tapi, Solo masih memiliki Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran. Tinggi gedung yang melebihinya akan membuat sangat tidak etis”, ungkap para budayawan dalam sidang penggugatan terhadap Joko Widodo tersebut.

Karakter orang Solo masih lemah
“Kebudayaan bukan hanya tentang bahasa dan aneka situs yang dimiliki oleh masyarakat. Tetapi, budaya adalah masyarakat itu sendiri”, tutur Sabar menjelaskan tentang makna sebuah kebudayaan. “Masyarakat jelas tidak dapat dipisahkan dari budaya itu sendiri karena memang sudah menjadi bagiannya”, tambahnya. Perubahan yang terjadi dalam suatu kebudayaan dapat terjadi karena ada pengaruh dari luar. Dapat terjadi proses ketika sebuah kebudayaan baru merupakan hasil dari penggabungan budaya lama yang terkena unsur-unsur budaya masyarakat pendatang. Atau dapat pula terjadi kebudayaan yang benar-benar baru karena masyarakat yang didatangi tidak dapat mempertahankan unsur-unsur dan nilai kebudayaan yang dimilikinya.
“Dan masyarakat kita (masyarakat Solo, red) saya pikir masih seperti itu”, ungkap Sabar. “Dalam penilaian yang saya lakukan, masyarakat lebih menyukai hal-hal yang berbau modern. Saya pikir mereka sudah banyak yang lupa tentang budaya berpakaian orang Jawa atau bagaimana berbahasa Jawa. Mereka juga pasti sulit menggunakan aksara Jawa”, tambahnya. Hal inilah yang menurut Sabar akan membuat masyarakat Solo menjadi bukan orang Solo lagi. Kepribadian masyarakat Solo dirasa belum terlalu kuat untuk menerima gelombang modernisasi yang begitu kuat dengan munculnya berbagai bangunan baru dengan arsitektur yang modern dan ketinggian yang mencakar langit. “Kebudayaan mana yang ingin kita pertahankan, karakter kita sendiri saja masih lemah”, lanjutnya.
Hal yang senada diungkapkan pula oleh Nur, warga Mangkubumen yang tinggal tepat di samping bawah lokasi Solo Paragon didirikan. “Solo belum butuh gedung, apartemen atau hotel yang setinggi itu”. Pembangunannya dirasa kurang memenuhi aspek transparasi. “Warga sama sekali tidak tahu apakah pembangunan gedung-gedung itu menggunakan APBD atau APBN. Berapa juga besarnya”. Dengan roman yang mulai kesal ia menambahkan, “Toh, yang memakai gedung-gedung itu juga sedikit yang warga Solo. Kebanyakan orang luar kota yang membawa budaya baru yang cenderung mengurangi nilai dan budaya Solo”. Hal tersebut diamini juga oleh Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) UNS Solo, Dr Drajat Tri Kartono MS. Dalam sebuah kesempatan ia menyatakan, ”Kota Solo yang luas wilayahnya sekitar 44 km2 sebenarnya tidak perlu pusat perbelanjaan modern berupa mal. Sebab, Solo sudah memiliki 38 pasar tradisional yang sesungguhnya sudah bisa mencukupi kebutuhan masyarakat”. “Semestinya, pemerintah mengembangkan pasar-pasar tradisional dengan fasilitas layak dan manajemen yang modern”, tambahnya.


Posted by admin at 12:55 PM Labels:

0 comments:

Post a Comment

Related Posts with Thumbnails
eXTReMe Tracker

LANGUAGE OPTION