PREDIKAT ‘Kota Kuliner’ untuk Jogja tampaknya tak terbantahkan lagi. Dalam kurun 5 th belakangan, kemunculan beberapa rumah makan ‘berkonsep’ semakin mengentalkan imej Jogja sebagai surga makanan bagi wisatawan. Tentunya ini menjadi alternative baru bagi penggemar kuliner yang selama ini ‘hanya’ dimanjakan dengan rasa sajian ‘warung klangenan’, yang selama ini jadi langganan. Maka itu, makin komplitlah sajian menu Jogja dalam kemasan yang beragam.
Sekitar th 80-an nuansa tradisional (baca: warung makan sederhana) begitu mendominasi wisata kuliner di Jogja. Sentra Gudeg Wijilan dan Barek sebagai pusat makanan khas selalu menjadi andalan. Tak terkecuali ‘warung-warung sederhana’ yang mengandalkan cita rasa sebagai sajian utama seperti Bakmi Mbah Mo di Manding, Bakmi Kadin, Warung Sido Semi di Kotagede, Angkringan Lik Man, Sate Klathak, sampai Sate Sapi di lapangan Karang selalu mendominasi dan menjadi tujuan utama pemanja lidah.
Meskipun tidak bisa dikatakan terjadi pergeseran orientasi, warung-warung makan ‘berkonsep’ yang dikemas secara modern, lambat-laun tak mau ketinggalan untuk menarik perhatian para ‘petualan rasa’ ini. Maka tidaklah mengherankan, jika dalam waktu yang relative singkat, Jogja mulai dipadati restaurant berkelas hotel berbintang, dengan konsep kenyamanan sebagai pendamping menu masakan sebagai hidangan utamanya.
Teste yang ditawarkannya pun tentunya tak hanya bersifat lokal, menu-menu tradisional bahkan cenderung sebagai pelengkap. Teste international seperti oriental food, European food sampai yang ‘beraliran’ timur tengah pun tak ketinggalan disajikan untuk memanjakan mereka yang ‘berlidah kota’. Namun tak begitu serta-merta demikian, menu-menu tradisional pun diangkat dengan bungkus yang lebih modern dan berkelas borjuis.
Sebut saja beberapa nama yang menawarkan kemasan unik, paduan menu tradisional dalam kemasan modern, seperta Rumah Makan Pesta Perak, Omah Dhuwur, Rumah Mertua, Bale Raos, Ny Suharti, Adem Ayem dan Bu Citro. Kemudian yang ber-teste-kan internasional seperti Pastello, Dixie, Empire, 7 Resto, Enjoy Resto, Bamboo Resto, Palm Resto dan sebagainya. Kemudian, tak kalah menariknya adalah rumah makan yang mengusung konsep kembali ke alam seperti Gajah Wong, Pring Sewu, Moro Lejar, Mang Engking, Galih, Salma, White Bear dan sebagainya yang bernuansakan alam pedesaan dan pemancingan yang memberikan suguhan udara segar sebagai menu pendampingnya.
Kenyamanan nampaknya menjadi ’santapan’ wajib di resto-resto ini. Table manner kelas hotel berbintang, ruangan sejuk ber ac sampai tata cara bersantap menjadi aturan ketika bersantap. Namun tidak semuanya demikian, penyesuaian terhadap kultur lokal (Jawa yang suka ’gojegan’) tetap banyak yang mengapresiasi, yang kemudian memunculkan tradisi makan yang unik. Paduan antara tradisi barat yang serius dengan kearifan lokal yang sering kali mengejutkan.
Gambaran seperti ini dapat ditemui di Restoran Pesta Perak di wilayah Jl. Tentara Rakyat Mataram. Sajian prasmanan tradisional dengan berbagai pilihan menu yang mampu membawa kenangan akan Jogja. Masakan khas ’Jawa ndeso’ dihidangkan dengan mempertahankan cita rasa warisan leluhur. Suasana makan semakin berkesan dengan hadirnya pelayan yang berbusana khas Jawa dengan iringan gamelan yang sayup-sayup.
Kesan modern akan dirasakan ketika memasuki Dixie Easy Dinning yang berlokasi di Jl Gejayan. Warung makan modern yang mengambil konsep metropolis ini memang berkesan formal pada awalnya. Sebagai tempat makan malam bagi keluarga, ternyata menyuguhkan sajian yang tak beda jauh dengan tempat nongkrongnya anak-anak muda. Kesan formal akan berubah jadi santai, rilex ketika memasuki ruang terbuka yang cukup luas.
Sambil menyantap hidangan ala western (dengan beberapa menu tradisi, -pen), pengunjung disuguhi hidangan entertain yang digelar pada waktu-waktu tertentu seperti pemutaran film atau sajian musik dari aliran pop masa kini, lagu nostalgia sampai alunan tembang-tembang jazz.
“Kita ingin menghadirkan kenyamanan. Dinning atau makan malam itu identik dengan pakaian yang rapi, lengkap dengan table manner yang teratur, tetapi di sini ingin menghadirkan makan dengan suasana yang easy atau enteng. Tidak diharamkan dengan hanya memakai celana pendek atau sandal jepit misalnya. Yang terpenting, menciptakan easy dinning yang menyenangkan,” jelas Daniel, Marketing Dixie, ketika ditemui Exploring.
Sajian unik juga dapat dinikmati di Sagan Resto, dengan sajian akuarium ikan-ikan laut yang gesit berenang. Restourant yang terletak di bilangan Sagan ini sepertinya ingin menunjukkan bahwa menu seafood yang ditawarkan diramu dari bahan-bahan yang masih segar-bugar.
“Dengan adanya akuarium dan ikan-ikan yang masih hidup ini membuktikan bahwa kita mengolah makanan benar-benar dari ikan hidup, bukan ikan mati. Bahkan sesekali kepiting hidup itu kita biarkan jalan-jalan, ini menjadi sajian unik bagi tamu-tamu. Ini bukti bahan-bahan makanan kita betul-betul segar, sehat dan hidup,” jelas Bonie, Manager Marketing Sagan Resto.
Sajian ikan-ikan segar yang dikemas dengan arena pemancingan pun tak kalah menariknya. Sebenarnya, trend warung makan seperti ini sudah muncul sejak beberapa tahun silam. Meskipun begitu tetap saja menarik dan tentunya harus ditunjang dengan kualitas masakannya.
White Bear, Serba Ikan dan Aneka Sup, merupakan salah satu warung makan yang mengusung konsep warung makan dan pemancingan. Dengan interior yang serba terbuka, ingin menyuguhkan kesan bersantap ditengah-tengah alam terbuka. Pengambilan lokasi yang masih terbilang di tengah kota, warung makan yang baru buka beberapa bulan ini mulai digemari. Lagi-lagi suasana menjadi andalannya sebagai penopang kelezatan dalam bersantap.
Menurut Ipung, pemilik White Bear, dengan konsep terbuka diharapkan bisa menjadi tempat yang enak untuk ngobrol, sekedar santai sejenak dan tidak terganggu bisingnya lalu lintas kendaraan. Dan juga, pengunjung bisa melihat air disekelilingnya tanpa meninggalkan kualitas rasa tentunya.
“Kami sadar, bahwa orang datang ke rumah makan itu intinya lapar. Beda ketika ke warung kopi itu pingin nongkrong. Bayangkan jika orang datang bawa anak kecil 3, yang besar bisa menahan lapar tapi yang kecil? Untuk itulah kita tetap memadukan kenyamanan, kecepatan dan cita rasa,” jelas Ipung, pemilik White Bear yang berlokasi di belakang terminal Condongcatur.
Tak kalah menarik adalah Rumah Mertua, paduan konsep boutique hotel kecil dan sebuah restoran taman bernuansa Jawa Tradisional. Resto yang berada di wilayah Ngaglik, Sleman, merupakan gabungan dari suasana hotel mewah dengan keramahan lingkungan rumah adat Jawa serta warung makan yang menawarkan menu masakan tradisional Indonesia.
Adalagi warung makan Bale Raos yang berlokasi di Jl Magangan, Kraton, menawarkan sajian khusus masakan kesukaan Sultan seperti Lontong kikil (Menu favorit Sultan HB X), Roti Jok (Menu tradisional Sultan HB VII), Bebek Suwar-Suwir (Menu favorit Sultan HB IX) serta Beer Djawa (Minuman spesial Sultan HB VIII). Atau, Pastello yang hadir di Plasa Ambarukmo dengan masakan Western, Oriental, serta pilihan Pasta seperti Beef Caswary, Beef Lyonaise, Chicken Hunter, dan Blue Style yang membawa khayalan ke negeri barat.
Memang tak akan ada selesainya ketika membahas wisata kuliner di Jogja. Seperti halnya, orang Jogja yang suka dengan kreativitas. Dan tak heran jika Jogja mendapat julukan ’kota seni’ yang tidak melulu dalam bidang seni budaya, tetapi juga seni dan kreativitas dalam bidang kuliner.
0 comments:
Post a Comment